oleh puisi cinta islam pada 3 Juni 2011
pukul 18:00 ·
Anakku…
Ini
surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras
menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi
matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti
saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.
Sejak
dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami
makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan
fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan
susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku.
Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat
aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.
Berikutnya,
aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu.
Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan
permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu.
Masa
remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar
untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat
engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran
engkau menempuh hidup baru.
Seiring
perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah
terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu
tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai
persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.
Ibu
sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut
tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah
melakukan gerakan.
Anakku…
Seandainya
ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya.
Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan
terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ?
Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan
mengunjungi Ibu ? Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama
ini ?
Anakku..
Ibu
hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk
wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan
kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di
atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain.
Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan
menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati
melakukannya,
Anakku…
Walaupun
bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…
Anakku…
Perjalanan
tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan
yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan
air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian
banyak orang-orang yang menggugat.
Anakku..
Takutlah
engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mataku,
ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin
merobek-robek surat ini. Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat
dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi
tanggungannya sendiri”.
Anakku…
Ingatlah
saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat
menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah
nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayag dan kelelahan
Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ….. Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan
dengan wasiat : “Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka
menyayangiku waktu aku kecil”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar